PUISI 

RUANG TUNGGU DALAM SEJARAH JINGGA

Sajak-sajak Edy Pranata PNP

___________________________________________________________________

 

POHON YANG MENAKJUBKAN

 

Serupa pohon Natal tapi bukan. Ia tidak meruncing ke atas.

Ia bercabang menjurai ke samping ke segala arah. Tingginya

sekitar tiga meter. Daun-daunnya menyembur cahaya.

Setiap ujung ranting menjurai bunga warna bening pelangi.

Ia tumbuh berjajar sepanjang jalan yang membujur datar.

Jalan yang kulalui dengan dada debar.

: “Jangan sentuh aku. Aku tak ingin gugur sebelum kesetiaan

kaubuktikan,” tutur bunga-bunga yang menjurai di atas kepala,

lanjutkan perjalanan dengan seluruh keinginan, dengan seluruh

angan-angan. Hingga kau benar-benar merasa bebas dari

segala kesunyian dan penderitaan!

 

Aku sungguh takjub. Bunga-bunga bicara? Daun-daun bergoyang

diterpa dingin angin. Di dekat gundukan tanah yang agak meninggi—

tepatnya di bawah pohon yang ujung ranting sudah tak ada lagi

kelopak bunga, telah gugur, kelopak bunga itu berserak hingga ke

gundukan tanah. Sudah tidak warna bening pelangi. Kelopak itu

serupa mawar, o, serupa kelopak mawar layu. Aku terkesiap. Ada

perasaan aneh yang tiba-tiba menjalar.

: “Hidup menuju kematian. Lalu apa yang kau cari. Harta. Tahta.

Cinta. Atau dunia apa yang kau kejar-kejar?

 

Aku tak berani memunguti kelopak bunga yang berserak itu. Aku

hanya membayangkan tentang kematian dan kebebasan. Aku ingin

meninggalkan segala ketidakmasukakalan. Juga pohon-pohon

menakjubkan ini. Aku ingin kembali ke dunia yang realistis. Melihat

petak-petak sawah menjelang panen dengan ribuan burung yang

menyerbu. Sungai Serayu yang keruh dan di atasnya melintas

kereta api setiap dua puluh menit. Menatap mata kekasih yang

mengerling tulus.

: “Hidup tidak mudah, Tuan Penyair! Kebahagiaan atau kemerdekaan

 harus diperjuangkan!

 

Aku akan membiarkan orang-orang dengan keinginan dan kebebasan

masing-masing. Dengan semangat hidup dan sukacita yang dikehendaki.

Sesenang-senangnya. Au!

 

Langit keruh. Angin menderu-deru

 

Aku berperahu di atas alir Serayu. Sendirian. Aku tidak ingin menyakiti

siapa pun. Aku hanya ingin menulis puisi. Sesederhana apa pun.

 

Cirebah, 31 Desember 2024

 

 

GUGUSAN EMBUN

 

Hanya gugusan embun yang mengapung. Memecah

serupa bulu-bulu sembilu. Tak ada edelweis. Tak ada

batu rindu. Tak ada kata. Hanya gugusan embun. Aku

debar. Luruh.

: “Aku ingin bermuka-muka laut. Mengelus tebing karang.

Peluk empasan ombak!

 

Perahu diterpa angin. Kesalahan besar telah membiarkan

robek layar. Ombang-ambing. Karam. Cuaca kusut. Yang

maha kasih jangan tinggalkan aku. Penyair fakir.

: “Langitkan doa. Jangan biarkan luka laut sepanjang debur!

 

Aku telah menjelma makhluk paling lemah. Kalah. Tak

mengapa. Setidaknya masih punya imaji. Walau perih.

: “Kepergian mungkin tinggal menunggu waktu. Setelah

perahu benar-benar karam!

 

Pertemuan, jodoh, maut; di laut di langit di hati paling dalam.

Serupa serbuk sembilu. Beterbangan di selasar ruang dan waktu.

Amatlah menyedihkan.

: “Au, perahu karam! Badai. Badai. Badai…

 

Aku menyaksikan ombak berdebur menghantam tebing-tebing

karang. Tak ada apa-apa lagi, selain perahu dan buih remuk

jadi serpih penyesalan.

 

Cirebah, 11 Januari 2025

 

 

 

RUANG TUNGGU

 

Kalau bukan karena kepentingan. Untuk apa engkau datang.

Di ruang tunggu. Wajah gelisah. Menghitung-hitung sisa usia.

Mengingat-ingat apa saja. Manis pahit getir. Atau membayangkan

matahari esok. Dan kenangan.

: “Setiap perjumpaan, aku tidak ingin luka!”

 

Di ruang tunggu. Sesakit apa rindu. Sewangi apa debar hati.

Riwayat senja jatuh ketika gerimis. Dan engkau mempertanyakan

ikhwal cinta: “Hai, perempuan embun, apa salah seorang tulus

menyinta? Sepenuh jiwa…”

 

Di ruang tunggu, mata itu mengerjap. Serupa waktu berjalan senyap.

Apakah kesetiaan bisa abadi? Mata itu berkaca-kaca. Kekasih, jangan

peluk aku. Kalau itu menumbuhkan jerat sembilu.

: “Aku tak akan pergi. Mungkin hingga senja temaram. Lebih baik

menyalakan lilin, dari pada mengutuk kegelapan. O, aku tetap di sini.

Menikmati waktu yang berjalan senyap!” Dan membayangkan matahari

esok. Semburatnya menghangatkan sisa usia. Sedalam-dalam cinta.

 

Ajibarang, 12 Desember 2024

 

 

Eddy Pranata PNP

BERPERAHU—  MENGUBUR SEJARAH JINGGA

 

1.

berperahu— membelah-belah selat memeluk mesra usia

: “Ini taggal berapa bulan apa? au, perahu menjauh dengan

bahagia…” angin mengekalkan rindu hingga ke bukit-bukit

ombak memecah di dinding karang

 

2.

melihat laut jauh; siluet serupa tubuhmu, dengan bekas luka

tepat di bawa dada

: kemarilah,  menjelma puisi, ‘kan kupeluk kuabadikan!”

siluet itu mendekat, dan au—kekasih: usia yang kian menua…

 

3.

dan ia wajahnya kian pias– seribu derita mengepung

ia urai segala perih, juga miang dan duri dalam tubuh

: “aku ingin pergi jauh, sejauh-jauhnya menurutkan kata hati!”

tak lagi ada senyum, langit keruh, garis nasib serupa benang kusut

tiada cahaya, hanya sorot mata gelisah, batang usia kian rapuh

perih rindu pada laut kasih, laut yang bergelora sepanjang musim

dan ia telah pergi jauh, menguburkan lipatan-lipatan sejarah jingga.

 

Jaspinka, 25 September 2024

 

 

 

 

 

 

Eddy Pranata PNP

MEKAR MAWAR, GUGUR MAWAR

 

1.

andai ini pagi, engkau bertandang ke rumahku, di halaman mekar mawar

petiklah setangkai untuk kenangan, tapi hati-hati jangan tertusuk duri

: “di waktu lain engkau boleh memetik lagi atau sekadar menghirup

Aromanya agar keharmonisan terjaga— lihatlah langit mendung,

cuaca dingin dan sudah berapa lama kita tidak bersua? semoga engkau

baik-baik saja…” mawar mekar di halaman, hati jiwa bergetar

 

2.

petik, petiklah setangkai, dengan hati riang—agar engkau bisa berpikir

putih air putih hati serupa mawar gugur, getar kenangan jingga

: “tangan senja menjulur meraih masa lalu meremasnya dengan sukacita!”

au, petiklah setangkai saja lalu tersenyumlah, ada sesuatu yang perlahan menjalar

ke dalam tubuh; puisi….

 

3.

beberapa kuncup telah mekar; lihatlah— ada mulai redup dan gugur

garis hidup mawar; menebar pesona dan aroma lalu berserak di tanah

: “serupa sayap yang mengepak hinggap di kesunyian, sepenuh duka!

 

4.

ada tujuh kuntum mawar di halaman, petik satu atau dua, lalu berkatalah

: “pertemuan dan perpisahan hanya soal waktu”— kita selayaknya bertasbih;

subhanallah dan esok atau lusa mawar gugur, kehilangan warna dan aroma

menikmati rasa sakit hingga nikmat kedamaian, au, keikhlasan.

 

Jaspinka, 30 September 2024

 

 

Eddy Pranata PNP

BUNGA LIAR

 

Sepanjang perjalanan setelah lewat bunga-bunga liar. Petak-

petak sawah. Jalan kecil berkelok. Naik turun bukit. Di sisi

kanan-kiri hutan pinus. Semilir angin. Engkau berbisik

: “Waduk Penjalin, makan betutu dengan panorama indah!”

 

Serupa danau dengan air biru. Di kejauhan gugusan bukit

menjulang. Apa itu Gunung Slamet? Sorot mata berbinar.

Jukung dan biduk tertambat diam di ceruk. Matahari

bergetar ke Barat. : “Kita naik jukung. Kita sisir danau

buatan ini. Menulis puisi tentang garis hidup yang retak.

Tetapi sarat imaji dan harum mawar!”

 

Jukung bergerak kencang diterpa angin…

 

Sejarah tercabik sembilu dua mata. Kenangan jingga.

Setiap pertemuan bisa berakhir pahit perpisahan. Tetapi

tidaklah ada sisa gugur mawar. Walau kelopak tak lagi

semerbak? Kita mengatur jarak dan waktu. : “Ulurkan

tanganmu untuk sebuah kebaikan; mengayuh jukung

ke ceruk paling purba. Cinta!”

 

Jaspinka, 22 Juli 2024

 

 

 

BIOGRAFI:

Eddy Pranata PNP— penyair Minangkabau kelahiran kota Padang Panjang, 31 Agustus 1963. Juara 3 Lomba Cipta Puisi FB Hari Puisi Indonesia 2020, meraih anugerah Puisi Umum Terbaik Lomba Cipta Puisi tahun 2019 yang diselenggarakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI bekerja sama dengan Yayasan Hari Puisi Indonesia. Juara 1 Lomba Cipta Puisi Sabana Pustaka tahun 2016, Nomine Penghargaan Sastra Litera tahun 2017 dan 2018, Nomine Krakatau Award 2017 dan 2019. Sejak tahun 2014 mengelola Jaspinka (Jaringan Sastra Pinggir Kali) Cirebah, Banyumas Barat, Indonesia. Buku kumpulan puisi tunggalnya: Improvisasi Sunyi (1997), Sajak-sajak Perih Berhamburan di Udara (2012), Bila Jasadku Kaumasukkan ke Liang Kubur (2015), Ombak Menjilat Runcing Karang (2016), Abadi dalam Puisi (2017), Jejak Matahari Ombak Cahaya (2019), Tembilang (2021).

Puisinya dipublikasikan di Majalah Sastra Horison, Litera, Tempo, Kompas, Pikiran Rakyat,  Jawa Pos, Indo Pos, Suara Merdeka, Media Indonesia, Padang Ekspres, Riau Pos, Kedaulatan Rakyat, Singgalang, Haluan, Harian Fajar,  Tanjungpinang Pos, Solopos, Minggu Pagi dan lain-lain. Puisinya juga terhimpun ke dalam puluhan antologi bersama.@

Related posts

Leave a Comment

four × five =